Karna tengah ada percepatan data tertentu, kegiatan kerja sebulanan ini hampir selalu ke lapangan, belusukan ke rumah-rumah warga.

Sebenarnya, kegiatan ini bukan hal yang baru. Bahkan sebelum-sebelumnya termasuk yang sering & rutin. Tapi mungkin karna intensitasnya itu, jadinya terasa lebih melelahkan. Aku menyebutnya jengah. Dalam artian bosan & lelah secara mental (di KBBI jengah sebenarnya punya arti lain).  Terutama ketika harus merespon & mendengarkan setiap pertanyaan, jawaban & keluhan warga yang mostly serupa. Tau banget berurusan dengan warga pada umumnya ya emang gitu. Kejengahan itu makin terasa ketika menyadari begitu kompleks sebab-akibatnya.

Jadi diantara kegiatan kerjanya adalah memverifikasi calon penerima manfaat melalui wawancara seputar kondisi sosial ekonomi keluarga. Dan cara menjawab setiap responden hampir semuanya sama. Misalnya;

"Lah Neng.. ibu mah ga punya apa-apa..". "Lah bu.. ada ini itu juga dari kredit/dibeliin anak.." Sebagain besar merespon dengan merendah-rendahkan kondisi/keadaan keluarganya sendiri. Agar apa? Agar dinilai sebagai keluarga berkekurangan & layak menerima bantuan. 

Disclaimer, terlepas dari ya memang ada keluarga yang beneran kondisinya berkekurangan & layak dibantu. Tapi perlu digaris bawahi kalau yg kita bicarain ini adalah mereka yang responnya bertentangan dengan kondisi keluarganya yg berkecukupan bahkan berlebih. 

Setelah mendengar ratusan respon masyarakat itu,  diantara kesimpulan atau kesamaaanya adalah masyarakat kita bukan hanya rata-rata masih berpendidikan rendah tapi rasanya ada yang salah dengan mentalitas kita. Mentalitas masyarakat kita. 

Secara materi kita mungkin kaya, tapi mental kita yang miskin. Tidak sedikit masyarakat yang ga jujur ketika ditanya kepemilikan aset atau informasi tertentu. Ada juga loh orang yang sudah berkecukupan, sudah & masih menerima bansos lalu menutupi kondisinya karna sayang (ga mau) buat mengundurkan diri. Masalahnya tadi, mentalitas.

Rasanya kemiskinannya bukan kondisi materil aja, tapi juga kondisi mental. Yang dibentuk dari lingkungan itu sendiri. Coba sebutin berapa banyak hal ditengah kehidupan kita yang perlu disuap/diberi pelicin dengan uang? Masuk sekolah yg katanya gratis aja kudu beli kursi, ngurus BPJS, ngurus identitas diri, dapetin kerjaan, dsb. Semuanya kaya judul lagu, Bayar Bayar Bayar alias perlu uang. Masyarakat perlu uang buat bayar ini itu semua. Buat mencukupi kebutuhan harian yang makin hari makin naik & membengkak. Semuanya kaya udah menjalar ke sendi sendi kehidupan masyarakat kita. Bikin masyarakat seolah perlu menghalalkan segala cara pada akhirnya. 

Disisi lain rasanya keadaan ini bakal lebih baik asalkan pemerintah minimal mendukung pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat. Pendidikan, kesehatan, sembako atau lapangan pekerjaan. Sayangnya pemerintah terlalu meromantisasi bantuan sosial. Programnya sebenarnya baik tapi eksekusinya punya banyak celah. Solusi yg seringkali jangka pendek & ga efektif apalagi ngobrolin soal data. Solusi yg dikit-dikit bansos ini bikin masyarakat jadi kaya dilenakan & terbiasa. Dipaksa merasa miskin agar bisa dibantu. Karna bagaimanapun kondisi (beneran miskin atau kaya) dan berapa pun jumlahnya, uang pasti butuh, pasti terpakai, pasti ga bakal cukup.

Dari berita-berita akhir ini bahkan, pemerintah bukannya memberi edukasi & teladan justru malah menambah kejengahan

Belum faktor lain yang makin hidup penuh rupa-rupa. Sebut aja judol, pinjol, dan pengaruh media sosial. Yang kita semua bisa terjerat, semua bisa terpengaruh. Miskin atau kaya.