"Landeuh artinya apa ya bu?" Tanyaku pada bu Kesih ditengah proses pembuatan gula semut. Beliau adalah ketua dari kelompok kegiatan UMKM di wilayah yang disebut Desa Cahaya Landeuh. Sebuah desa yang biasa menjadi tempat bermukim bagi para orang-orang Baduy yang memeluk islam. Karenanya disebut juga sebagai kawasan atau Desa Baduy mualaf.

Bu Kesih juga sempat bercerita tentang bagaimana kisahnya menjadi seorang mualaf, menjadi orang Baduy yang keluar dari suku aslinya. Singkatnya, diusia remaja dulu beliau merasa takut akan mati. Perasaan ini yang kemudian membuat beliau bertanya tentang hidup yang dijalani hingga akhirnya beliau sekeluarga memeluk Islam yang berarti juga keluar dari suku Baduy.

Bu Kesih bercerita sambil sesekali menyeka air mata, membuat kami yang mendengar pun ikut haru & terkagum. Sikap toleransi, kritis & pencarian tujuan hidup masyarakat Baduy mualaf menurutku tak kalah dengan mereka yang menempuh pendidikan tinggi & modern.

Bu Kesih bilang, alam bahasa sunda "landeuh" artinya "dibawah". Karna memang wilayah Baduy mualaf sendiri berada dibawah pegunungan. Sementara wilayah pemukiman Baduy Luar dan Baduy Dalam berada diatas/ditengah pegunungan yang dalam bahasa sunda kata "diatas" berarti "tonggoh". Jadi Desa Landeuh bisa  berarti wilayah bermukim orang-orang Baduy yang turun (keluar) dari tempat bermukim aslinya yaitu diatas pegunungan. Sedangkan kata "Cahaya", sepertinya berasal dari lembaga pembina kawasan itu yaitu PLN tepatnya yayasan baitul maal (pengumpul zakat) para karyawan PLN.

Menurutku, kata Cahaya bisa juga bermakna "iman" mengingat Desa Cahaya Landeuh merupakan tempat bermukim orang-orang Baduy yang mualaf atau berpindah kepercayaan menjadi seorang muslim. Penamaan yang terasa pas & bermakna.

(Salah satu spot foto terbaik. Gambar hanya sebagai pemanis >.<)

***
Pukul 09:00 WIB, rombongan kami yang berasal dari teman-teman internal maupun eksternal komunitas sepakat untuk berkumpul di stasiun Rangkasbitung. Meski turun hujan sedari malam, tak menyurutkan langkah kami. Yaa.. beberapa memang ada juga yang mendadak mengundurkan diri. Tapi gapapa juga, rencana tetap berjalan.

(Briefing & berfoto di area stasiun Rangkasbitung  berangkat menuju lokasi)

Rute yang kami tempuh sedikit berbeda, biasanya untuk menuju Baduy Dalam melalui jalur Cibologer yang memakan waktu 7 jam. Namun, Hani ketua rombongan kami berinisiatif untuk mengambil rute lain yang lebih dekat yaitu jalur Cijahe dengan waktu tempuh hanya sekitar 1,5 jam (wow). Jadi perjalanan membelah gunungnya dilalui dengan mobil. Supaya kami bisa tetap merasakan sensasi trekking di Baduy Luar, sebelum melewati jalur Cijahe kami sempat beberapa kilometer berjalan di area jalur Ciboleger selama sekitar 2 jam sebelum akhirnya kembali ke area parkir mobil & melanjutkan perjalanan dari jalur Cijahe tadi menuju Baduy Dalam.

(Didepan tugu sebelum memasuki wilayah Baduy Luar) 




Saat memasuki Baduy Luar sejujurnya aku merasa biasa aja. Kadang merasa ini tuh mirip dengan  tempat-tempat wisata Banten, bedanya jenis barang & makanan khasnya gitu. Selain itu yang berbeda tentu saja rumah-rumahnya, pakaian masyarakatnya, bahasanya, dan alamnya. Itu pun jujur aku masih merasa familiar. Bukan sesuatu yang terasa asing atau aneh banget, mungkin karna  sama sama tinggal diperkampungan & Bapak yang juga berasal dari Lebak. Tapi bisa berjalan-jalan di alam tentu saja tetap amat sangat menyenangkan.

(Jembatan yg menjadi titik akhir perjalanan di Baduy Luar sebelum berpindah rute)

Setelah melaksanakan shalat Magrib, kami mulai perjalanan menuju Baduy Dalam. Rencananya juga kami akan bermalam disana. Sebenarnya medan ga begitu sulit, naik turun bukit dengan kondisi tanah yang licin bekas diguyur hujan membuat kami harus ekstra berhati-hati. Ada 3 rombongan malam itu yang juga melakukan perjalanan & berencana menginap menuju Baduy Dalam. Kami melewati rute sambil menggunakan pencahayaan dari HP kami masing-masing. Dari perjalanan di rute Cijahe ini sinyal HP sebenarnya udah ga ada sama sekali & saat di Baduy Dalam kita ga diperkenankan memotret.

(Berfoto sebelum memasuki kawasan Baduy Dalam)

Sampai di Baduy Dalam sekitar pukul jam 8 malam. Entah mengapa suasana sepi & gelap amat sangat terasa. Warga Baduy Dalam rata-rata sudah terlelap. Yang berbeda, dibawah rumah panggung orang-orang Baduy Dalam terdapat anjing-anjing peliharaan. Gaya rumah, susunan rumah & jalanan disana ada perbedaan dengan yang di suku Baduy Luar.

(Foto yg diambil sesaat sebelum sadar kalau ini udah memasuki pemukiman Baduy dalam. Niatnya cuma mau foto kondisi sepatu yg nyaris jebol setelah melewati jalan naik turun & licin 😂)

Didalam rumah, terasa syahdu & otentik. Melihat lampu minyak didinding bilik, tungku api yang menyala dalam rumah, anak-anak suku Baduy yang sedang tertidur serta atap rumah yang sedikit terbuka sampai aku bisa memandang warna langit malam itu. Rasanya terasa khas & indah. Sayangnya hari itu langit mendung, kami sama sekali tidak melihat bintang yang harusnya terlihat jelas dari daerah sana. Selepas makan bekal yang kami bawa & berganti pakaian (aku tidak), kami semua langsung mulai bersiap tidur.

Sekitar jam 3/4 pagi beberapa diantara kami mulai pergi ke sungai untuk berwudhu, karna sedang tidak sholat aku hanya membersihkan beberapa bagian tubuh yg terasa lengket sambil merendam kaki di air sungai yang dingin. Suara deras aliran sungai, bulan & cahayanya yang ku liat diantara pepohonan jadi salah satu pemandangan yang terekam & disimpan langsung oleh mata. Saat hari masih gelap aku dan teman-teman lainnua melakukan shalat subuh, aku duduk diluar rumah sendiri. Mencoba merasakan suasananya; udara & baunya (bau kayu/pepohonan), suara air, ayam, anjing, dan belalang sambil memandangi api unggun yang tinggal tersisa baranya saja. Kami kemudian disuguhi kopi & air hangat dan beberapa jenis rebusan umbi-umbian. Perlatan masak & makannya juga beberapa tampak khas.

Ketika hari sudah lebih terang, kami langsung diajak berkeliling perkampungan masyarakat suku Baduy Dalam. Melihat lumbung hasil tani masyarakat sana sampai ditunjukan rumah Pu'un (sesepuh) yang posisinyq sedikit lebih tinggi dari rumah lainnya. Kami juga berkesempatan bersilaturahmi & ngobrol sampai tanya-tanya ke Jaro (setingkat RW). Pemerintahan disana menganut sistem monarki jadi jabatan yang ada di Baduy beralih secara turun temurun.

Yang paling menarik adalah ketika Kang Hasan (tour guide kami) menjelaskan tentang kehidupan masyarakat Baduy Dalam. Beliau sendiri tadinya tinggal di Baduy Dalam, sampai saat usia 10 tahun Kang Hasan memilih ke keluar atau berpindah ke Baduy Luar tepatnya sebagai Baduy mualaf. Orang-orang Baduy sendiri sebagai yang menganut agama sunda wiwitan (percaya kepada Tuhan yang satu tapi tidak menjalankan syariat Nabi Muhammad) diberi kebebasan untuk memilih keluar/berpindah kepercayaan tapi hanya boleh menjadi Islam/muslim saja (tidak diperkenankan agama yang lain). Menariknya lagi, Kang Hasan yang merupakan asli orang Baduy Dalam sebetulnya juga calon penerus Jaro, tapi karna berpindah maka gugur statusnya. Prosesi 'pamit' & berbagai adat serta kisah-kisah yang mewarnai masyarakat Baduy membuatku menyeru dalam hati. Menarik banget. Kaya adat, kaya budaya dan kaya cerita. Sampai mikir penulis cerita film kayanya juga sering terinpirasi setelah mendengar cerita-cerita kaya gini.

Gak lama setelah mengobrol dengan Jaro, kami langsung pamit pulang. Perjalanan pulang juga sama menariknya. Karna pemandangan yang semalam ga terlihat, kini terlihat jelas.


(Beberapa foto pemandangan selama jalan pulang dari Baduy Dalam. Foto kedua kalau di zoom sebelah kanan bisa kita lihat pemukiman Baduy Dalam)

Setelah dari daerah Baduy Dalam, kami langsung melanjutkan perjalanan menuju Desa Cahaya Landeuh. Kawasan permukiman Baduy Mualaf. Belajar tentang cara membuat salah satu olahan khasnya yaitu gula semut.


(Proses packing olahan minuman gula semut. Gula semut sendiri campuran dari gula arena & rempah-rempah lainnya)