Melalui salah satu postingan video IG Khalis Mardiasih beberapa waktu lalu, tentang alasan mengapa seorang perempuan seringkali sulit keluar dari hubungan atau pasangan abusif seperti KDRT & selingkuh. Entah mengapa aku turut merasa sedih.
https://www.instagram.com/reel/Crih5jGNWQt/?igshid=MzRlODBiNWFlZA==
Diantaranya karna beberapa hal yang disebutkan dalam video itu rasanya adalah hal-hal yang juga aku takutkan sebagai seorang perempuan.
Sebagai perempuan kita seringkali seolah gak punya kontrol, ga punya kemampuan bersikap, dan kesempatan untuk memilih. Kita seolah hanya bisa menunggu dan menerima. Padahal perempuan berdaya bukan hanya soal mereka yang mampu menghasilkan uang sendiri aja, tapi juga punya & mampu bersikap atas pilihan-pilihan hidup yang dihadapi. Meskipun kadang itu jadi hal yang sulit tidak hanya karna memang ga diberikannya kesempatan, tapi juga karna ketakutan & ketidaktahuan kalau perempuan juga boleh kok mengambil sikap.
Bukan hanya itu, aku juga turut merasa sedih karna kenyataan bahwa hal itu amat dekat terjadi ditengah hidupku.
Betapa kesalnya pada suatu hari aku dengan sengaja membaca isi percakapan antara kakak perempuanku dengan suaminya yang tengah berselisih. Kurang lebih suami menyebutkan alasan mengapa berselisih hingga ia berselingkuh, yaitu karna menurutnya sang istri ga mampu jadi istri yang baik dan si istri diminta belajar bagaimana merawat suami yang benar. Bagiku pernyataan si suami terkesan menuntut hak & kewajiban secara sepihak tanpa saling memahami & belajar. Hubungan suami istri juga terkesan hanya soal yang dilayani & yang melayani. Padahal barangkali keduanya perlu juga sama sama introspeksi diri.
Pernah gak ngebayangin, kehidupan seorang perempuan bisa berubah 180 derajat ketika menikah & punya anak. Yang biasa bekerja kini harus dirumah hampir setiap hari apalagi sambil merawat anak. Yang biasa bebas main & kumpul bareng temen-temen atau misal bebas beli hal yang dia mau, jadi gak leluasa lagi. Laki-laki kayanya hampir gak banyak yang berubah, kehidupannya bisa jadi hanya pulang pergi bekerja sama seperti sebelum menikah. Kalau soal tanggung jawab bukankah dua-duanya sama-sama bertambah berat juga? Maksudku soal rutinitas yang berubah itu, yang pastinya berdampak secara fisik & psikis. Makanya perlu sama sama saling memahami & belajar.
Al Quran membahas kok gimana hubungan suami istri semestinya. Tulisan ini secara khusus ngobrolin laki-laki yang hanya menikah & menjadikan seorang perempuan ga lebih dari seorang pembantu rumah tangga tanpa berkesadaran & bersikap seenaknya.
Kehidupan rumah tangga yang terjadi diantara kakakku barangkali bisa jadi pelajaran yang besar, paling gak buatku pribadi.
Suatu hari aku juga pernah menyaksikan perselisihan diantara keduanya, sepenglihatanku dari pintu kamarnya yang sedikit terbuka, aku menyaksikan kekerasan. Aku jelas marah & kesal. Rasanya hampir hampir ingin mendobrak pintu kamarnya. Aku bukan hanya kesal & marah karna perlakuannya pada perempuan, pada saudara kandungku, tapi juga karna hal itu terjadi dirumah. Tempat yang harusnya bagi iparku sebagai orang yang numpang, bisa segan & menjaga sikap. Terlebih saat itu sebenarnya ada kakak lelakiku yang tengah tiduran main hp, aku sempat memberitahunya tapi mungkin dia berpikir ga semestinya mengampuri urusan rumah tangga orang lain, ia hanya diam. Jujur, aku merasa ga ada tempat yang aman & orang yang bisa melindungi. Gimana kalau suatu saat nanti (naudzubilah min dzalik) aku berada diposisi itu?
Aku kesal & marah pada si suami yang bersikap semena-mena & egois. Pergi tanpa kejelasan, kembali hanya saat dia mau. Tanpa komitmen, tanpa kewajiban seperti yg dulu dia tuntut, yang ditunaikan layaknya sebagai seorang suami & bapak. Sebagai kepala keluarga dan juga sebagai lelaki.
Aku kesal, marah, sekaligus sedih pada si istri yang gak punya ketegasan & keberanian buat memutuskan. Seolah menerima saja ketika diperlakukan tidak sepatutnya. Gak tahu batas hubungan yang udah gak sehat & gak layak buat dijalanin.
Aku juga sedih, karna mempertanyakan apa & bagaimana seharusnya peran keluarga disana.
Keluarga khususnya orang tua punya peran yang amat penting. Sayangnya, peran itu kadang juga gak optimal dijalani karna alasan yang bisa jadi memang perlu dipahami. Misalnya orang tua pun juga produk dari pola hubungan yang ga sehat dari lingkungannya dulu, karna itu mereka ga tahu & memahami.
Saat anaknya dekat kemudian menikah, orangtua seperti hampir ga memberi filter & screening atas si calon pasangan anaknya. Sekedar melihat kasat mata bahwa anaknya sudah tampak dekat, menikah jadi hal mudah diputuskan. Saking mudahnya, seandainya hari ini aku membawa lelaki yang entah siapa, darimana dan bagaimana, sepertinya orang tua akan mudah mengizinkan. Kebebasan yang diberikan orang tua seringkali menghasilkan banyak kemungkinan, misalnya kesalahan & ketidakmampuan memilih yang terbaik bagi hidupnya.
Pola hubungan diantara kedua orangtuaku juga sepertinya sama saja. Bahkan dibeberapa kesempatan, menurutku keduanya sama sama punya luka yang terus dibawa hingga usia tua & meledak sewaktu-waktu ketika berselisih. Luka diantara dua manusia yang hidup bersama, antara keduanya akan saling menyakiti atau akan saling menyembuhkan.
Perasaan kecewa, marah, dan sedih itu valid. Namun saat ini yang paling penting bagiku lagi-lagi ialah pandai mengambil pelajaran atas apa yang terjadi.
Aku ingin hidup yang lebih baik. Dengan berdaya & perasaan setara. Dengan kemampuan bersikap atas setiap pilihan, tidak hanya menunggu & menerima. Dengan pria yang tidak hanya mencinta tapi juga yang berkesadaran, tanpa kehilangan fitrahnya sebagai seorang qawwam bagi perempuan, bagi istri, dan bagi keluarganya.

0 Komentar