Katanya rezeki bukan cuma soal materi, dipertemukan dan dikelilingi dengan orang baik, saling mengingatkan dan memberikan nasihat pun merupakan bagian dari rezeki. Kalimat itu rasanya pas untuk menggambarkan gimana hari Minggu kemarin berjalan.
Hari itu, Minggu 25 Desember 2022
Kenal dari suatu program online yg diikuti bareng, terus saling follow di medsos, saling DM di instagram sampai kemudian ketemuan. Meski mirip, ini bukan cerita tentang kencan buta dari aplikasi dating, tapi berawal dari program online tantangan menulis 30 hari. Singkat cerita kenalah sama Mba Shinta dan Yuniar Devi atau yang lebih senang disapa Rain. Mereka berdua kakak beradik.
Setelah sekian kali rencanain buat meet up, akhirnya jadilah kami ketemuan. Kami sepakat buat janjian di Stasiun Cikini menuju Perpustakaan Taman Ismail Marzuki (TIM). Kami bertemu di Mushola stasiun, Mba Shinta dan Rain sampai lebih dulu. Pertama bertemu keduanya udah memberi kesan hangat lewat bingkisan yang ternyata udah disiapkan. Sekotak cokelat Beng-beng, snack mie Gemez, dan sebuah buku lengkap dengan kartu ucapan. Aku? Aku tidak menyiapkan apapun, hiks 🥲
Sebelum menuju TIM, kami juga sepakat untuk makan terlebih dulu. Dipilihlah sebuah resto mie ayam Gondang Dia yang menurut info di internet terkenal legendaris. Tampak dari luarnya aja udah beda, ga seperti tempat makan pada umumnya. Kami memesan masing-masing seporsi mie ayam pangsit rebus. Menurutku, yang paling enak dari mie ini selain kuah kaldunya adalah tekstur atau kekenyalan mie dan pangsitnya. Sambil menikmati makan, kami mulai bercerita.
Setelah itu kami langsung menuju TIM. Sayangnya hari itu bertepatan dengan hari libur nasional, jadi beberapa spot ditutup termasuk perpustakaannya. Kami kemudian berjalan-jalan disekitar area TIM. Sejujurnya walaupun udah sempat chattingan beberapa kali, tetep ada rasa khawatir dan takut tiap ketemu orang baru. Overthinking. Apalagi mereka ini kan kaka adik, yang mana secara interaksi & emosional pasti udah lebih deket. Bisa aja jadi kaya obat nyamuk atau dikacangin gitu kan? 😆
But, it's totally wrong..
First impression sama Mba Shinta, yang di notice pertama adalah warna suara dan cara bicaranya. Halus dan terdengar perhatian. Misalnya pas lagi ngobrol nih, dibelakang kalimatnya diselipi kata “..may” dengan nada tertentu. Tipe suara yang menurutku enak buat didengerin di podcast gitu. Kalo Rain, aku merasa justru dia lebih punya banyak kemiripan denganku. Selain pernah aktif dikomunitas teater, satu rumpun ilmu pas studi S1, dan ga lulus di program tantangan 30 hari menulis itu, hahaha. Sama sepertiku, Rain juga ga bisa langsung akrab kalo ketemu orang baru. Mungkin karna sama-sama anak tengah kali ya, punya karakter & problems yang mirip. Setelah banyak ngobrol, justru aku merasa Rain ini yang paling ekspresif diantara kami bertiga. Kalo mba Shinta lebih filosofis, terkesan perasa & punya makna lebih sama hal-hal disekelilingnya, Rain seorang creator yang punya daya imajinasi, gimana dia ngeliat antiknya bangunan di resto mie ayam tadi, ngeliat wayang orang di TIM atau pas ngobrol tiba-tiba cekikikan (rupanya lagi masuk ke ruang imajinasinya sendiri 😂) dan hal-hal lain yang mungkin aku dan mba Shinta ga tau. Intinya, dari sebelum ketemu secara langsung pun aku udah merasa mereka berdua ini unik.
Yang paling menarik & buatku penasaran adalah tentang gimana hubungan keduanya sebagai kakak-adik. Bisa kaya temen sendiri, ngobrolin & diskusi hal-hal jarang semisal kesehatan mental itu sesuatu banget menurutku. Katanya, hal itu ga sepenuhnya terbiasa dari kecil. Menariknya lagi, kami ga perlu lama untuk banyak tukar cerita bahkan untuk hal-hal yang buat ukuran orang baru kayanya jarang langsung bisa cerita. Secara ga langsung/sadar kami mungkin melakukan screening dulu gimana sikonnya, interaksi dan respon satu sama lain. Dan hasilnya, aku pribadi merasa gapapa dan santai aja buat cerita banyak hal.
Kami punya pergumulan dan persepktif yang sama tentang beberapa hal. Tentang self awareness, kesehatan mental, keluarga, hubungan, lingkungan sekitar, dan hal-hal random lainnya. Menyenangkan. Bertemu keduanya seperti menemukan sebuah forum tempat menyuarakan & diskusi tentang hal-hal yang selama ini hanya dipikirkan. Dipertemukan dengan teman yang punya kesamaan nilai, cara pandang/opini, bahkan harapan.
Lucunya, pas cerita soal harapan dan orang-orang yang menurut kami keren seperti Maudy Ayunda, Anies Baswedan, dan sederet orang hebat lainnya, kami lebih sepakat untuk jadi seperti orang tuanya, menjadi sosok ibunya. Karna sama-sama menyadari bahwa betapa pentingnya peran orang tua, peran keluarga. Juga karna, itu lebih realistis saat ini.
“Oh, ibunya Maudy Ayunda pun memang dilahirkan dari keluarga yang suportif; kaya & berpendidikan. Orangtua dan nenek moyang Anis Basewedan bahkan seorang pahlawan dan bangsawan”. Punya privilege. Ya gapapa.. berarti kami orangtua/moyangnya yang kesekian diatasnya, entah yang keberapa 🤣. Intinya, kami percaya rantai yang terhubung ditengah keturunan orang-orang keren itu pun ada titik dimana rantai pernah terputus. Titik dimana perubahan itu terjadi. Titik dimana priviliage itu mungkin mulai dibentuk.
Hari itu sebetulnya jadi sebuah refleksi & pembelajaran buat diri sendiri. Alhamdulillah, bersyukur & senang bertemu keduanya. Kami lalu pulang dari TIM setelah shalat Magrib.
Beberapa hari setelahnya, Mba Shinta & Rain menulis di masing-masing bloggnya tentang pertemuan hari itu. Oh, my goodness! It's so heartwarming 💗








.jpg)





.jpg)
0 Komentar