Gue selalu berusaha meyadari bahwa setiap orang memiliki cara
pandang yang berbeda. Semuanya bergantung pada pengalaman dan pengetahuan
setiap individu. Teman bisa bersikap pro dan atau kontra terhadap apa yang kita
pikir dan lakukan. Hal itu menurut gue fitrah manusia yang justru akan jadi
sebuah khasanah tersendiri. Bahkan pada
hal yang menurut kita baik, teman bisa melihat sisi lain. Bukan untuk saling mematahakan,
bukan. Tapi membuat sesuatu yang baik menjadi lebih baik.
Sekarang
ini gue lagi berusaha buat menerima setiap pendapat berbeda dari berbagai orang
terlebih teman sendiri. Masa iya gue lantas menjauhi seseorang hanya karna gak
sependapat. Kita butuh bertahun-tahun membangun sebuah kepercayaan dalam sebuah
pertemanan masa mau kandas gitu aja (eaa). Kalau ga suka sama pendapat
seseorang gue sih cukup tau aja, kalau gue mampu dan orang itu dirasa terbuka
gue juga akan berusaha untuk memberikan dia pandangan lain. Kalau engga, ya
tadi. Cukup tau aja alias diem. Gausah sok-sokan debat, keras-kerasan ga
berujung.
Dalam
tulisan ini gue akan sedikit merespon hasil obrolan beberapa minggu lalu bareng
salah satu temen gue yang SUPER nyebelin. Tapi sejujurnya dia salah satu orang
gue merasa nyaman untuk membicarakan hal-hal yang sedikit pribadi. Kalau dia
baca ini mungkin dia bakal merasa kalau yang gue omongin itu dia. “Iya elu..”.
Wkwk.
Gue
mungkin termasuk lola. Kalau abis ngobrol, kemudian diminta untuk berpendapat
macam gini aja mesti dibawa kerumah. Baru kepikiran dirumah gitu. Hahaha. Temen
gue itu sering kasih statment yang bikin overthinking. Dimana beberapa hal yang gue enggak
gue setuju, gak langsung gue respon. Gue lebih banyak diem. Mau gue respon langsung
kayanya gue gak cukup ilmu tentang itu. Mesti gue pelajari dulu. Respon gue pas
ga setuju dan ga bisa mengungkapkan dalam kata paling lewat ekspresi muka
mengkerut gitu. Gue itu perlu mencerna. Alhasil, pas dirumah, dijalan atau
ditempat dan kegiatan tertentu dan gue baru kepikiran baru gue merenung tentang
pendapat dia. Huh, lola!. Tapi menurut gue paling ngga itu lebih baik daripada
respon langsung dengan jawaban gak berdasar dan gak tepat.
Apa
sih emang yang dia bilang? Temen gue tanya tentang pernah gak gue menemukan
orang yang sama kepribadiannya dengan diri sendiri. Gue mungkin kurang paham
dengan konteks yang dia nyatain. Tapi kalau yang dia maksud itu adalah orang
atau temen yang sama, yang akan selalu membenarkan segala sikap dan perkataan,
jelas gue gak setuju. Kayanya gak bakal ada aja gitu orang yang punya
kepribadian persis sama kaya kita. Berbeda itu sebuah keniscayaan. Bukan sesuatu
yang melulu harus diperdebatkan. Apalagi untuk jadi bahan permusuhan.
Untuk
teman yang lebih serius dalam arti teman hidup semacam suami atau istri menurut
gue juga ngga jau beda. Kepribadian, sikap, cara pandang berbeda bagi gue nggak
masalah. Selama kita sendiri masih bisa menerima. Dalam artian ketika memutuskan
untuk hidup bersama, saat itu pula kita udah siap dan gak merasa khawatir
dengan hal itu. Tapi untuk beberapa hal menurut gue memang harus sama, sesuatu
yang sifatnya prinsiple. Agama
misalnya. Kita harus punya & berpegang pada prinsip yang sama.
Oke
balik lagi, merespon pertanyaan temen gue itu. Tentang menemukan orang yang
sama, kalau pun memang ada kayanya gue belum menemukan. Tapi gue percaya, yang
harus kita cari dan temukan bukanlah orang yang sama, melainkan orang yang
mampu melengkapi diri kita dengan segala kekurangan dan perbedaan. Yang paling
penting ya tadi, punya tujuan yang sama, bersemangat dan saling mendukung dalam
setiap kebaikan, sebanyak dan seluas-luasnya.
Udah
deh, ngacak banget ini tulisan. Semoga masih bisa dipahamilah ya. BYE!

0 Komentar