Senin-Rabu, 12-14 Juni 2017
Masjid Al Madinah, Ciledug-Kota Tangerang

Pukul 09:07 beserta seorang teman, saya tiba dilokasi. Kami tiba lebih cepat dibanding panitia dan peserta. Kebetulan dalam kegiatan pesantren Ramadhan ini kami bertugas sebagai relawan. 

"Oh, nanti ya mbak.. kami masih berkemas. Mbak tunggu saja". Ungkap pak Panggeng melalui panggilan telpon selaku ketua yayasan PKTN sekaligus ketua panitia dari kegiatan pesantren Ramadhan ini.

Tak berbeda dengan binaannya, beliau juga merupakan seorang penyandang tunanetra. Ajaibnya beliau mampu menggunakan telepon seluler. Beliau juga mampu menelpon dan membalas pesan dari setiap orang. Tidak hanya itu, hampir semua anggota binaanya memiliki telepon seluler dengan kemampuan yang sama.

Jangan salah, ternyata memang ada teknis tertentu melalui settingan telpon. Saat jari menyentuh/menekan huruf A misalnya, telpon akan bersuara A. Saat jari menyentuh/menekan opsi kontak, telpon juga akan bersuara. Pun jika ada pesan masuk, tinggal sentuh/tekan pesan, maka telpon juga akan bersuara sesuai isi pesan tersebut. Bukan mudah, bagi yang memang tidak terbiasa seperti kita, apalagi suara yang terdengar sangat cepat, nyaris tak jelas dan sulit dipahami. (Nah, buat teman-teman yang berkompeten dibidang IT, menurut saya ini bisa jadi ide buat mengembangkan telpon genggam yang lebih nyaman digunakan khususnya oleh para tunanetra. Penting, terlebih sekarang media komunikasi memang tidak bisa berlepas dari aktivitas kita sehari-hari)

Aktifitas yang kami lakukan selama tiga hari ini hampir sama dengan pesantren Ramadhan pada umumnya. Seperti misalnya kajian ilmu Tajwid, bacaan dan praktik wudhu & sholat. Termasuk tilawah & murojaah Al Qur'an. Seperti disebutkan diatas, kegiatan pesantren Ramadhan ini diikuti oleh 30  penyandang tunanetra. Terdiri dari laki-laki dan perempuan. Rata-rata usianya sekitar 30-60 tahunan. Bahkan diantaranya merupakan pasangan suami-istri dengan kondisi keduanya sama-sama tak mampu melihat (Ah, bisa dibayangkan bagaimana romantisnya). Dalam kesehariannya ada yang merupakan seorang tukang pijit, pengajar, Qori, ustad, bahkan penceramah.

Dalam beberapa kesempatan, diketahui penyebab kebutaan mereka cukup beragam, ada yang memang keturunan, sakit dan kecelakaan. Misalnya, cerita seorang ibu yang pernah bisa melihat dengan jelas dimasa kecilnya. Sayang, saat duduk dikelas 6 tak sengaja terkena pukulan 'smash' bola volly hingga menyebabkan kornea sebelah matanya pecah dan mengalami kebutaan. Yang kemudian hal itu merambat juga ke sebelah matanya yang lain. Awalnya hal itu membuat si ibu sering mengalami ketakutan, sering menangis, sampai sering merasa terkucilkan. Namun seiring berjalannya waktu, ia pun mulai menerima & terbiasa dengan kondisi penglihatannya yang tak seperti dulu. Terlebih setelah mengikuti kegiatan pembinaan di PKTN, tidak hanya membaca & menulis, anggota juga diajarkan beberapa keterampilan seperti memijit, membuat kerajinan tangan, memasak, sampai mengoperasikan komputer. Termasuk menggunakan telepon genggam. Sang ibu & teman-temannya merasa lebih percaya diri bergaul ditengah masyarakat. Darinya saya juga pahami bahwa memang setiap orang memiliki hak yang sama untuk mendapatkan kesempatan seperti mendapatkan pendidikan yang layak apapun kondisinya.

Hal lainnya yang juga mengagumkan ialah kemampuan mendengar dan memahami mereka yang sangat kuat. Misalnya saja saat kajian ilmu tajwid yang saya sendiri diam-diam malu juga. Beberapa diantara mereka telah memahami cukup dalam. Mereka mengerti Ikhfa, Iklab, Idgom, dan sebaginya lengkap dengan penjelasannya. Dan itu semua mereka pahami dengan hanya mendengarkan. Termasuk menghafal surat-surat Al Qur'an. Bahkan ada juga yang sudah hafal sampai 5 Juz. (Masya Allah..)
Hal lain yang tidak kalah berkesan dalam tiga hari itu ialah saat kami semua tengah bersiap untuk wudhu dan shalat berjamaah di masjid. Posisi kegiatan kami berada di aula atau tepatnya lantai 1 masjid, membuat kami harus selalu berjalan beriringan layaknya bermain kereta api. Kami juga harus selalu mengingatkan peserta setiap kali ada tangga atau hal-hal lainnya yang sedikit mengganggu. "Naik Bu.., turun Bu.." atau "awas, tembok..". Meski pernah saya lupa mengingatkan hingga ada ibu-ibu yang tersandung atau tak sengaja menabrak pintu. (Duh)

Terakhir, kita sama-sama  menyadari bahwa sejatinya Allah  telah memberikan jatah waktu (24 jam) dan modal (fisik) yang sama bagi setiap orang. Saya kira kelebihan-kelebihan yang mereka miliki tidak lain ialah karena mereka mampu memaksimalkan modal yang telah Allah berikan. Lalu, sudahkah kita memaksimalkan modal yang sempurna  dari Nya?

Sedangkan apa yang kita anggap sebagai sebuah kekurangan boleh jadi merupakan satu diantara cara Nya mencegah & menjaga kita dari kemaksiatan. Termasuk dari apa yang kita lihat melalui pandangan mata.

Bukankah segalanya akan dimintai pertanggung jawaban?

Jumat, 16 Juni 2017
(Msy)